Center for Entrepreneurship Development and Studies

Selamat Pagi, Anda Kena PHK!

Seorang Chief Executive Officer sebuah perusahaan ternama dunia hari itu

datang kekantornya yang megah tepat jam 7 pagi. Sang pemilik perusahaan

memasuki ruang kerjanya tak lama kemudian. Setelah berbasa-basi sedikit,

beliau berujar;”My friend,” katanya. “Aku bangga dengan hasil kerjamu selama

ini,” lanjutnya. Sang CEO tentu saja bahagia mendengar pujian bossnya itu.

“Namun,” lanjut si boss. Kali ini, hati CEO itu mulai dihinggapi tanda tanya

besar. “Para stakeholders kita menginginkan untuk menggantikanmu dengan

seseorang yang lebih baik…..” Saat itu juga, pagi yang cerah seakan-akan

berubah menjadi gelap gulita sambil sesekali dikilati cahaya dari bunyi

petir dan gelegar halilintar yang membuat jiwa bergetar. Sang CEO hanya bisa

terpana. Seolah tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.

Seandainya, berita itu tidak ditujukan kepada CEO yang sedang kita bicarakan

itu. Melainkan kepada anda. What are you going to do?

Boleh jadi anda mengira bahwa percakapan diatas itu sekedar rekaan belaka.

Tapi, jika anda mengikuti perkembangan dunia bisnis internasional

akhir-akhir ini; anda akan menemukan bahwa pembicaraan semacam itu

sungguh-sungguh terjadi didunia nyata. ‘Korbannya’? Banyak. Mulai dari orang

nomor satu di bank terkemuka. Pemimpin perusahaan farmasi tercanggih. Hingga

raksasa minuman berbahan dasar kopi yang aroma ketenarannya sampai kesini.

Bahasa politik boleh mengatakannya dengan halus, semisal; pensiun dini atau

golden shake hand. Tetapi, dalam bahasa kita; itu tidak beda dengan tiga

huruf mengerikan bernama P. Dan H. Dan K. Sounds familiar, right? Yes, that

PHK.

Anda tentu masih ingat kisah tragis legendaris yang menimpa kapal pesiar

Titanic yang tenggelam pada tanggal 14 April 1912. Peristiwa itu

diperkirakan menelan 1,500 korban jiwa. Para ahli mempercayai bahwa faktor

utama yang menyebabkan banyaknya jumlah korban jiwa bukanlah semata-mata

tenggelamnya kapal tersebut, melainkan; kurangnya jumlah sekoci yang ada

dikapal itu dibandingkan dengan jumlah penumpang yang ada. Mereka begitu

yakin bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Jadi, mengapa harus menyediakan

sekoci? Konon, ketika perisiwa itu terjadi; sesungguhnya masih banyak waktu

untuk melakukan penyelamatan. Namun, karena jumlah sekoci penyelamat hanya

sedikit, hanya sebagian kecil saja yang bisa diselamatkan.

Dalam kehidupan kerja pun kita sering berpikir seperti itu. Kita begitu

yakin bahwa kapal yang kita gunakan untuk mengarungi samudera dunia kerja

ini tidak akan tenggelam. Sehingga kita tidak merasa penting untuk memiliki

sekoci. Tetapi, berapa banyak sudah perusahaan yang gulung tikar dan

kemudian tenggelam seperti halnya Titanic? Jika kita boleh berkata tanpa

sensor, sesungguhnya dunia kerja kita lebih beresiko daripada Titanic. Apa

yang terjadi pada Titanic adalah musibah bagi semua penumpang. Semua orang

menghadapi masalah yang sama. Sebab; orang baik tidak ditendang keluar dari

kapal. Tetapi, dalam sebuah perusahaan; sudah sering terjadi seorang

karyawan ditendang keluar dari bahtera perusahaan semudah itu. Seperti

peristiwa yang menimpa sang CEO diatas itu.

Jika itu bisa terjadi kepada pimpinan puncak sebuah perusahaan; maka tidak

heran jika bisa dengan sangat gampangnya menimpa karyawan-karyawan dilevel

lainnya. Ya. Tentu saja. Anda sudah tahu itu. Bahkan mungkin sudah banyak

teman anda yang terkena PHK juga. Sayangnya, saat ini pun kita masih begitu

yakinnya untuk mengatakan bahwa kita tidak akan mengalami nasib seperti itu.

Sungguh, tidak ada yang menjaminnya. Sebab, bagaimanapun juga itu bisa

menimpa siapa saja. Karyawan yang jelek. Karyawan yang bagus. Karyawan

dilevel manapun juga. Direktur? Sudah banyak direktur yang terkena PHK juga,

bukan?

Seseorang menganggap saya ini terlampau pesimis dalam memandang masa depan

pekerjaan. Saya bilang;”Ada bedanya antara sikap pesimis dengan sikap

antisipatif. Seseorang yang pesimis, memandang dari sisi negatif, dan dia

tidak melakukan apa-apa untuk mempersiapkan dirinya, kecuali memelihara

perasaan was-was. Sedangkan, orang yang antisipatif, memandang sebuah resiko

secara rasional dan proporsional. Lalu dia mempersiapkan diri untuk

menghadapi situasi sulit jika terjadi sewaktu-waktu. ”

PHK adalah resiko kita sehari-hari. Kita tidak perlu terlampau percaya diri

dengan mengatakan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi pada kita. Atau

sebaliknya terlalu takut jika mengalaminya. Sebab, selama kita

‘mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kemungkinan itu,’ maka yakinlah

bahwa masa depan kita akan baik-baik saja. Paling tidak, kita tidak

terlampau syok, jika itu benar-benar terjadi. Dan yang lebih penting dari

itu adalah; memulai mempersiapkan ‘sekoci’ itu dari saat ini. Sekoci yang

selalu siap digunakan jika sewaktu-waktu kita membutuhkannya.

Begitu beragamnya reaksi orang ketika terjadi PHK. Ada yang panik. Ada yang

biasa-biasa saja. Ada pula yang senang alang kepalang. Ada orang yang

mendapatkan ‘golden shake hand’ tetapi hatinya miris dan menghadapi dunia

didepannya dengan tatapan pesimis. Ada yang mendapatkan uang pesangon

sekedar sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam undang-undang; namun,

memandang masa depannya dengan antusias dan optimis. Mengapa sikap mereka

bisa beda begitu ya? Ternyata, orang-orang yang sudah ‘mempersiapkan’

dirinya untuk situasi sulit seperti itu lebih bisa menghadapi kenyataan itu.

Mereka melihat sisi terangnya. Dan mereka menemukan bahwa; itu bukanlah

akhir dari segala-galanya.

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan email dari seorang teman yang mengalami

‘perlakuan’ kurang patut diperusahaan. Menyimak kompleksnya permasalahan

yang dihadapinya, tidaklah mudah untuk meresponnya. Tetapi, tepat sehari

sebelum saya menerima email itu, saya bertemu dengan seorang sahabat lama.

Bagi saya, beliau bukan sekedar sahabat; melainkan juga seorang mentor.

Puncak karir beliau adalah Direktur Pengembangan Bisnis pada sebuah

perusahaan multinasional dengan pengalaman kerja 20 tahun.

Dia bangga dengan pencapaiannya. Dan dia tahu kualitas dirinya yang tinggi.

Namun, suatu ketika perusahaan memintanya untuk menduduki sebuah jabatan

lain. Jabatan itu levelnya bukan Direktur, melainkan manager biasa. Jelas,

orang ini diturunkan pangkatnya. Dan yang lebih menarik lagi adalah: posisi

baru yang harus dipegangnya adalah sebuah posisi yang sebelumnya berada

langsung dibawah kepemimpinannya. Sedangkan posisi direktur kini diduduki

oleh orang lain. Itu terjadi tahun 2002. Dan orang itu – dengan segala

kualitas diri yang dimilikinya – ketika bertemu dengan saya kemarin; menjadi

orang yang lebih berhasil dari sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa emas

tetaplah emas, meskipun terbenam dalam tanah berlumpur.

Saya sendiri mempunyai prinsip pribadi yang berbunyi; ‘bersiap-siap seolah

akan terkena phk besok pagi.’ Dengan prinsip itu, sedari sekarang saya mulai

mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Saya belajar banyak hal hari ini,

supaya besok bisa menjaga diri. Jika besok pagi saya mendapatkan phk itu,

sekurang-kurangnya secara mental saya sudah menjadi lebih siap. Sehingga,

bebannya mungkin akan menjadi lebih ringan. Apakah anda juga demikian?

Hore,

Hari Baru!

Catatan Kaki:

Jika kita berani menaiki sebuah kapal pesiar, maka pasti itu karena kita

yakin bahwa kapal itu akan sampai dengan selamat ketempat tujuan. Namun,

pasti kita akan merindukan sebuah sekoci jika sesuatu yang tidak diharapkan

terjadi.

oleh : Dadang Kadarusman

27 Juli 2008 Posted by | bisnis | 2 Komentar